(112) JUJURKAH TULISAN SEJARAH INDONESIA?


"JUJURKAH TULISAN SEJARAH INDONESIA?"

Oleh: Amroeh Adiwijaya.

Pengantar:

Tulisan ini terinspirasi dari informasi media terkini (foto terlampir di bawah) bertajuk, Penulisan sejarah Indonesia akan ditulis ulang, dengan tagar "Awas penumpang gelap", bersumber dari ungkapan Fadli Zon (bergelar adat Minangkabau, Datuak Bijo Dirajo Nan Kuniang), politikus partai Gerindra, alumnus jurusan/Prodi sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB.UI) yang saat ini menjabat sebagai Menteri Kebudayaan Republik Indonesia pada Kabinet Merah Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto.

--------

Menulis apa pun, bagi sebagian besar orang masih dinilai sebagai aktivitas "wah", hanya oleh yang mampu menulis, perut sudah kenyang, dan yang mau mempublikasikan disebut "berani".

Dan yang bergenre sejarah bangsa, biasanya dilakukan oleh pemerintah/rezim untuk menunjukkan legitimasi dan ke mana arah pemerintahan.

Karena penulisan sejarah (selanjutnya ditulis: sejarah) pasti berunsur politis, maka biasa kalau berganti penguasa berganti pula buku sejarah, diubah sesuai selera rezim, yang biasa membuat bingung masyarakat terutama siswa dan guru karena berganti buku.

Pemberangusan buku sejarah lama yang dilakukan sebuah rezim baru pun banyak terjadi.

Mengapa demikian?

Sejak kolo mendo (Jawa: dulu), meskipun ada yang mengatakan bahwa orang Eropa jujur dan objektif dalam menulis sejarah, tapi ternyata tidak terbukti.

Sejarah oleh kolonial benar-benar merugikan Indonesia karena bersifat Eropa-sentris, menekankan peran bangsa Belanda, dan mengabaikan peran serta perspektif rakyat Indonesia. Bermakna menciptakan gambaran sejarah yang tidak lengkap, diskriminatif, dan dapat melemahkan semangat perjuangan bangsa.

Sejarah sering kali dipengaruhi oleh perspektif, bias, dan kepentingan politik dari penulisnya, termasuk penulis Eropa. Ya, meskipun ada usaha untuk mempertahankan kebenaran dan objektivitas, sejarah tetaplah interpretasi yang dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan politik.

Apa dan bagaimana seharusnya?

Adalah dengan mengacu pada salah satu ciri utama sejarah nasional yaitu fokus pada perspektif nasionalisme Indonesia, yang dikenal sebagai Indonesia-sentris. Berarti berupaya menceritakan sejarah bangsa Indonesia dengan sudut pandang yang didasarkan pada kepentingan dan pengalaman bangsa Indonesia sendiri, bukan berdasarkan pandangan atau kepentingan pihak asing. 

Dan tentu seharusnya berdasarkan pada penelitian ilmiah dan perspektif Indonesia atau sebagai historiografi nasional (baru) yang menekankan pada kepentingan dan perspektif bangsa Indonesia.

Dengan demikian, sejarah harus jujur, obyektif dan transparan, berarti penulis harus menyampaikan informasi secara akurat dan tanpa bias, serta mempertimbangkan berbagai perspektif untuk memberikan gambaran yang utuh tentang suatu peristiwa sejarah.

Kejujuran sejarah penting agar generasi mendatang dapat belajar dari masa lalu dengan benar dan tidak terpengaruh oleh narasi yang salah atau manipulatif.

Akhir kata:

1) Tulisan sejarah lumrah (Jawa: wajar) kalau ada yang tidak sepakat, karena tidak mungkin tercipta satu versi, dan biasanya pemerintah/rezim-lah yang mendominasi dan menang.

2) Siapa penyusup pada narasi acuan tulisan ini? Tak lain dan sangat mungkin adalah sang penulis ulang sejarah itu sendiri, yang protes pada sejarah sebelumnya

3) Kepada semua elemen/golongan masyarakat, menulislah meskipun sederhana, apapun dan mengarsiplah, sekarang, dan wajar (saja) kalau sesuai yang menguntungkan komunitas sendiri. Ya-sapa tahu bisa menjadi bahan sejarah bangsa, kelak kalau berkuasa.


Gresik, Rabu 28 Mei 2025

Rehat menjelang lunch

amroehadiwijaya@gmail.com

_____________

Lampiran:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

E-BOOK BLOG AMROEH ADIWIJAYA

* "AGAMAMU APA?" Amroeh Adiwijaya

(124) SOFIAN EFFENDI