* "AGAMAMU APA?" Amroeh Adiwijaya


Opini Minggu Siang
Amroeh Adiwijaya

"AGAMAMU APA?"

Sekitar tiga bulan yang lalu, dua member di satu WAG yang saya ikuti, sealumni-almamater multi SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), untuk memudahkan saya sebut A dan B, berpolemik menanggapi sebuah video yang menurut saya biasa-biasa saja, tidak menyebabkan menghentak emosi, dan harusnya tidak mengundang sensitifitas SARA dan sebagainya, namun berkembang A bertanya, "Apa agamamu?" sehingga membuat B murka.

B akan melaporkan ke Polisi segala dengan argumen, pertanyaan A itu mengganggu kedamaian dan melanggar hak asasi manusia. Saya pun tergelitik untuk komen.

Saya tulis singkat: Kita tidak perlu sensitif apalagi "over" dan membiasakan diri untuk menganggap kata-kata yang demikian atau mirip-mirip itu adalah hal yang lumrah, biasa. Kalau anda (B) menjawab lugas saya yakin tidak akan berkepanjangan.

Saya tambahkan: Saya sendiri beberapa tahun yang lalu mendapatkan pertanyaan yang sama dari seorang bule saat berada di atas kereta api dari Jakarta menuju Surabaya.

Tanpa prasangka, saya jawab lugas agama saya Islam, dan lanjutannya saya tahu bahwa dia dan rekannya sesama bule adalah mahasiswa teologia, dan kami dapat berbincang santai akrab pada banyak topik.

Lanjutan WAG di atas, A dan B tidak berpolemik lebih lanjut, namun satu member lain berkomen untuk saya, "Betul, tapi saya yakin suatu saat kita akan menuju ke sana di mana sejenis pertanyaan A di atas akan dilarang karena akan menciptakan disharmoni dan intoleransi dalam bermasyarakat".

Saya pun menjawab: Menurut saya, jangan cepat-cepat mengeluarkan larangan ini-itu karena sejatinya yang utama adalah menanamkan keyakinan pada masyarakat agar "tahan banting" dan memaklumi terhadap semua hal yang berbeda termasuk pada pertanyaan dan sikap orang lain, dan kalaupun dianggap sudah keterlaluan bisa/cukup didialogkan dengan baik alias tanpa emosi tinggi.

Saya tambahkan: Sampai sekarang, saya menyayangkan larangan penyebutan "Cina" oleh/semasa presiden SBY yang mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/PRES.KAB/6/1967.

Karena SK itu, muncul kerancuan dan kesalah-kaprahan akut antara lain, penyebutan keturunan Cina dengan Tionghoa, dan negara China menjadi Tiongkok yang tidak ada di peta dunia manapun.

Dan apakah SK di atas merupakan bentuk ketidak-berdayaan pemerintah (selanjutnya?) seperti halnya kegagalan penerapan slogannya untuk Aparatur Sipil Negara (ASN): "BerAKHLAK" dan "Bangga Melayani Bangsa"???? : Bisa jadi!.

Penjelasan
  • "BerAKHLAK" merupakan akronim dari Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif. Slogan ini diinisiasi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenpanRB).
  • "Bangga Melayani Bangsa" merupakan motto employer branding yang diimbaukan kepada ASN.
Dan (true story) mengakibatkan di satu WAG lain-Alumni sealmamater yang saya ikuti ada satu member yang "left" keluar WAG dengan emosi gegara satu member lain bertanya, "apakah anda keturunan Cina?".

Sekali lagi, yang perlu ditekankan pada masyarakat adalah mengeliminir sensitifitas, dan menguatkan agar punya rasa "ndablek" seperti saya yang cuek bebek bahkan ketawa renyah ketika seorang non Jawa menyebut saya dengan, "dasar Jowo kowek loh!".

Gresik, 7 Mei 2023
amroehadiwijaya@gmail.com 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

E-BOOK BLOG AMROEH ADIWIJAYA

3 INFORMASI