(102) HARI KARTINI DAN RESTRUKTURISASI LAKI-LAKI


Senin, 21 April 2025
HARI KARTINI DAN
RESTRUKTURISASI
LAKI-LAKI

Pengantar:

a) E-book Blog, E-book yang berkonten Blog ini berisi kumpulan opini, copy paste (copas) utuh tanpa editing, dari WAG Forum Diskusi Sila Pertama Pancasila (FDSP) Alumni Universitas Indonesia yang beranggotakan alumni UI dari berbagai fakultas dan angkatan/tahun kelulusan.

b) WAG yang perkembangannya biasa membahas rame terbuka "tanpa hijab" mengenai perbedaan teologis/keagamaan antara Islam-Kristen ini, pada HARI KARTINI (21 April 2025) rame membahas perbedaan gender, antara laki-laki dan perempuan.

c) Kumpulan opini ini saya fokuskan pada "kata berjawab"  antara saya dengan seorang member WAG yang berwawasan luas, mahir dan aktif menulis, Kristiani, mbak Clara (saya sebut Clara), alumnus S1 FTUI jurusan Mesin angkatan '86.

d) Karena menurut saya merupakan opini bagus, menarik, sayang kalau tidak terarsip, dan berdurasi panjang, maka saya dokumentasikan pada E-Book Blog ini.

Selamat membaca.
Terima kasih.

Gresik, 21 April 2035.
amroehadiwijaya@gmail.com
-----------

(1)
BERMULA dari postingan saya/Amroeh: Pukul 13:52 WIB
yang (di bawahnya) saya share flyer buku saya:
👇

Komen singkat untuk postingan HARI KARTINI, hari ini, di WAG sebelah (copas)
⬇️

Penyebutan "perempuan" itu bagus, saya setuju, karena bagi pejuang keadilan dan kesetaraan gender, penyebutan "Wanita" adalah bentuk peremehan dari dominasi laki-laki.

Pendapat di atas dari hasil diskusi saya dengan seorang pejuang keadilan dan kesetaraan gender Indonesia terkini, yang saya tuangkan pada buku biografinya (di bawah)
⬇️


(2)
CLARA merespons (pukul 14:47):

Pak Amroeh, terima kasih. Apakah boleh dijelaskan mengapa kata  'wanita' itu meremehkan?

Bagaimana dengan penggunaan kata 'cewek' seperti dalam WA Pak Bambang dan Pak Andhika di atas? Apakah ada makna merendahkan juga?


(3)
AMROEH merespons (pukul 15.48):

Terima kasih kembali, mbak Clara, dan berikut saya komen rada panjang, tapi di luar konteks istilah/penyebutan laki-laki perempuan, atau cowok-cewek, manusia berusia muda/sok muda, yang di buku saya di atas saya tulis panjang.

Begini:
Sejak kapan perempuan berubah jadi wanita? 
Sangat sulit dijawab, dan jawaban apapun pasti memunculkan banyak perdebatan.

Tidak semudah menjawab pertanyaan; sejak kapan pria jadi wanita, yang jawabannya pasti; Setelah operasi plastik. 

Tanggal 21 April ini memang salah kaprah. Peringatan lebih ditekankan pada sisi “kewanitaan”. Lebih sempit lagi dengan kebaya.

Betul Kartini itu perempuan dan berkebaya, tapi substansinya adalah emansipasi, keadilan dan kesetaraan gender.

Budaya kita memang cenderung latah dan kurang mendalami substansi, cenderung pada aspek material.

Dalam segala hal, kita cenderung meminggirkan substansi. 

Soal emansipasi, dalam konteks sekarang apakah masih relevan? 
Ini juga sulit dijawab.

Bukan karena peliknya masalah, tapi keengganan menjawab secara jujur akibat banyaknya mitos soal laki-laki dan perempuan.

Mitos supremasi laki-laki berlatar budaya “male chauvinism” yang membuat persoalan emansipasi jarang disuarakan secara riel dan jujur. 

Jujur saya katakan, emansipasi perempuan zaman ini tidak lagi relevan.

Zaman sekarang justru perempuan yang cenderung lebih hegemonik bukan saja dalam kehidupan rumah tangga, tapi juga kehidupan sosial.

Ketidak seimbangan ini terjadi secara laten karena perempuan juga menikmati hegemoni ini, dan laki-laki cenderung malu mengakui.

Istilah seperti “ISTI”, “DKI”, dan lain-lain itulah yang berkonotasi penindasan istri terhadap suami, dan itu nyata.

Tapi masyarakat kita dan kaum laki-laki cenderung menjadikannya bahan candaan untuk menutupi kejanggalan mitos male chauvinis di atas.. 

Laki-laki sekarang cenderung menjadi jantan justru dihadapan laki-laki lain, karena dia tidak pernah berdaya dihadapan betinanya.

Para preman yang galak memalak di jalanan itu sebetulnya laki-laki yang gagal menaklukkan betinanya di rumah. Termasuk laki-laki yang sering main dengan perempuan lain bahkan lebih satu.

Mereka ini sebetulnya laki-laki lemah kebanyakan. Tidak mampu menaklukkan istrinya sendiri.

Dia berkelana seolah menaklukkan banyak perempuan.

Ridwan Kamil (beruntunglah dia saya sebut) termasuk golongan ini. Dan entah siapa lagi di group ini.

Betul, secara seksual laki-laki itu lemah dan tidak sebanding dengan hasrat biologisnya.

Karena kalah secara kualitas, maka dibalas dengan aksi kuantitas. 

Dalam ranah sosial, terutama dalam politik kenegaraan, secara kuantitas jumlah perempuan yang jadi pejabat memang kalah jumlah. Tapi jangan salah menilai bagaimana peran para istri ini dibalik suaminya yang jadi pejabat.

Dan bukan rahasia lagi peran besar para bini dalam persoalan politik suami. Tidak peduli jabatannya setinggi apapun, tak kecuali Presiden. 

Ini belum termasuk persoalan struktural yang lebih ramah perempuan.

Jika suaminya pejabat, secara struktur istrinya juga ikut terkerek menjadi ketua Dharma Wanita. Tapi kalau istri yg jadi pejabat, apakah ada organisasi Dharma Pria? 

Segudang fakta nyata membuktikan laki-laki makin marginal ini belum pernah ada yang menyuarakan  “emansipasi pria”.  

Jadi, masih relevan kah hari ini kita mengucapkan “selamat hari Kartini” yg secara esensi adalah hari emansipasi wanita?

Salam dari pecinta perempuan from Gresik:
amroehadiwijaya@gmail.com 
😃🙏


(4)
CLARA merespons (pukul 18.28)

Terima kasih banyak Pak Amroeh.
Apa yang Bapak tulis beresonansi dengan pemikiran saya saat ini.

Dipicu oleh beberapa perceraian yang terjadi di sekitar saya, saya juga tiba pada pandangan bahwa wanita saat ini cenderung lebih hegemonik, khususnya di daerah dimana pendidikan belum berkembang.

Mungkin karena kesempatan kerja lebih terbuka untuk wanita, khususnya sebagai asisten rumah tangga dan pekerjaan lain dalam bidang jasa. Area kerja yang memang memerlukan wanita. Sementara kesempatan kerja untuk pria kurang.

Dalam beberapa situasi wanita lebih mudah mendapatkan kerja dan penghasilan. Hal ini tampaknya menghancurkan banyak harga diri pria, dan karena itu, akhirnya tatanan ‘normal’ yang diharapkan, yaitu situasi dimana seorang pria adalah pemimpin, tidak tercapai.

Pengalaman bekerja di NGO membuat saya aware bahwa banyak sekali upaya pemberdayaan wanita, namun hampir tidak ada upaya untuk mendukung para pria untuk mengembangkan manhood mereka dalam konteks mereka yang terbatas.

Maka, tidak heran bila para pria tidak tahu bagaimana mereka harus memimpin keluarganya, bagaimana mengelola egonya, bagaimana berkomunikasi dengan pasangannya, bagaimana bertanggungjawab untuk kehidupan keluarganya.

Contoh nyata: ketidakcocokan dengan cepat berakhir dengan perceraian (usia pernikahan <5 tahun, dan sang ayah tidak sepeserpun membiayai anak-anaknya yang ikut ibunya. 

Saya pernah tanya teman saya yang profesor Psikologi, apakah benar pemikiran saya bahwa pria Indonesia sangat kekurangan dukungan untuk berkembang sebagai ‘lelaki’ yang seharusnya. Jawaban yang saya terima: ‘benar, sangat kurang, sudah dalam kondisi darurat’. Sedih.

Kemarin saya baru berdiskusi dengan teman. Upaya meminimalisasi peran pria sepertinya memang dilakukan secara sistematis oleh suatu invisible hand, entah sengaja atau tidak.

Setidaknya itu disadari oleh orang Amerika Serikat. Peraturan pemberian tunjangan hanya kepada wanita yang single parent, justru membuat banyak wanita tidak memperjuangkan pernikahannya, dan akhirnya banyak anak laki2 tumbuh tanpa ayah, dan kehilangan teladan ‘how to be a man’.

Padahal setiap anak memerlukan ayah (untuk belajar logis) dan ibu (untuk mengerti bahasa rasa). Di Indonesia, mungkin kurangnya bidang manufaktur dan rendahnya apresiasi terhadap bidang pertanian, mengurangi lapangan kerja untuk para Bapak.

Dalam sudut pandang di atas, saya berpandangan bahwa upaya-upaya pemberdayaan wanita perlu ditinjau ulang agar tidak menghasilkan situasi dimana hanya para wanita yang berdaya. Yang perlu dibangun adalah bagaimana baik wanita dan pria dapat berkembang dalam kapasitasnya dengan kesempatan yang sama, dalam rasa hormat yang resiprokal, tidak dalam situasi dimana yang satu lebih berkuasa atas yang lain.

(Sambil menulis ini, saya teringat berita2 dimana kekuasaan membuat pelecehan seksual, mostly oleh pria, terjadi di berbagai tempat di dunia. Bagi saya ini adalah salah satu bukti kegagalan masyarakat dunia untuk mendidik pria menjadi ‘yang seharusnnya’.)

(5)
Amroeh merespons (pukul 19.39):

Ungkapan-ungkapan mbak Clara itu menarik, dan saya sepakat.

Dari paparan di atas saya tahu, mbak Clara yang perempuan pun ikut prihatin dengan merosotnya hegemoni-keperkasaan laki-laki, yang bermakna mengakui bahwa kepemimpinan laki-laki, terutama dalam keluarga, itu penting.

Maka menurut saya, yang perlu direstrukturisasi adalah agar laki-laki kembali perkasa, meski pasti akan banyak perempuan yang protes, "emangnya perempuan kagak bisa perkasa meski seorangan?".

Yang saya garis bawahi juga adalah alinea 6: Benarkah perubahan struktur gender itu ada yang menciptakan secara sistematis yaitu oleh suatu invisible hand? Menurut saya memang ada, yaitu hukum alam, efek globalisasi, yang mungkin bisa dikaitkan dengan istilah Jawa, "wolak-walike jaman".

Dan saya rembetkan, kalau dulu yang bisa menempati posisi penting kenegaraan adalah dari kaum ningrat/terpelajar, maka era kini dijungkir balik, "siapapun bisa", sehingga orang dari kalangan biasa yang menjabat lalu berbuat aneh-aneh, dijuluki, "kere munggah bale" atau OKB.

Tapi kita pun nggak perlu kaget kalau ada golongan dari unsur manapun yang merealisir/merestrukturisasi hegemoni laki-laki dengan jalan pintas-frontal, karena berpedoman, "membasmi kebobrokan harus frontal dan revolusioner, karena kalau alon-alon asal kelakok akan bablas angine".

Itu pun bisa dilihat dari hukum alam, siapa yang kuat dia menang.

Sebagai penutup, aksi  secara revolusioner itu, kami di Gerakan Anti KKN Alumni UI (GAKKNAUI) menyeru hanya kepada Presiden RI agar diterapkan pada Ganyang KKN. Hanya maukah dia? Mbuh! Kalaupun nggak mau, bermakna dia terindikasi koruptif.

Salam sehat, mbak Clara, Tq.

(6)
CLARA merespons (pukul 20.01):

Benar Pak Amroeh, saya risau.

Kekristenan hampir tidak bicara soal kesetaraan gender, atau perbedaan peran wanita dan pria. Mungkin karena dari sononya dipandang sudah setara.

Hawa dihadirkan karena Adam perlu ‘pembantu’ yang dapat mengisi semua kekurangannya, jadi ya setara, dengan peran berbeda.
Di Alkitab nabi ada yang wanita.
Kepala pemerintahan ada yang wanita.

TUHAN bekerja melalui para wanita, bahkan wanita yang pelacur. Yesus bangkit, orang pertama yang ditemuiNYA juga wanita.  Hanya ketika bicara keluarga, Alkitab menegaskan pria adalah kepala keluarga. Tapi kepala keluarga ini pun harus tunduk kepada Tuhan. Saya menerima ini sebagai keniscayaan yang berlaku umum, itu grand design, bukan hanya di keluarga Kristen, dan karena itu risau. 

Semoga Bapak-bapak dan Ibu-Ibu di WAG ini mengambil bagian dalam membangun manhood para pria muda, baik dalam mendidik wanita muda dan juga pria muda. Sepertinya topik yang sulit.  

Terima kasih Pak Amroeh.

(7)
AMROEH merespons sekaligus menutup dialog (pukul 20:56):

Terima kasih kembali, mbak Clara. Pada lain kesempatan kita bisa berbalas opini dengan topik yang berbeda.
Selamat malam.

.       --------- The End --------


ARTIKEL NOMOR: 2
Jum'at, 25 APRIL 2025


https://kumparan.com/kumparannews/kejagung-tetapkan-2-advokat-direktur-jaktv-tersangka-pemberitaan-negatif-24vK2RVfEEZ

Respons singkat untuk
info https:// di atas:

"PENCOLENG DAN SEMESTA"

Itulah fakta langkah sistematis massive yang digunakan siapapun dalam meraih tujuan, tak kecuali pencoleng, berdasi atau tidak.

Pemberitaan (buzzer) dan demo-demo bayaran, termasuk sewa speaker Horeg dan sebagainya, pun digunakan.

Maka tidak heran masyarakat sekarang apriori, skeptis dan apatis hampir pada semua informasi dan gerakan.

Namun kaum "kebenaran" tak perlu ragu untuk terus berjuang karena pasti akan ada pendukung yang menggunakan hati nurani.

Betul kalau ada yang mengatakan, "uang dan jabatan bisa mengatur segalanya", tapi yakinlah kebenaran akan menang pada waktu yang tepat.

Saat semesta turun tangan, sekecil apapun aib seseorang pasti akan terkuak.

Gresik, Jum'at 25 April 2025.
amroehadiwijaya@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

E-BOOK BLOG AMROEH ADIWIJAYA

* "AGAMAMU APA?" Amroeh Adiwijaya

(124) SOFIAN EFFENDI