***** BOTHOK
"TAK BOTHOK
KEMANA-MANA"
Amroeh Adiwijaya
Tulisan ini tentang "bothok" tapi sorry alurnya kemana-mana, maklum karena judul mengadaptasi dari lirik lagu jadoel fenomenal Mbah Surip yang dirilis tahun 2003: Tak gendong kemana-mana.
Jenis kuliner terkhusus menu lauk asli Jowo yang digemari masyarakat Indonesia, benar-benar tak terhingga.
Saking banyaknya, ditambah jumlah penduduk yang mayoritas dan tersebar ke seantero Nusantara maka tidak heran kalau dibilang Indonesia adalah Jowo, dan isi perutnya adalah menu Jowo.
Satu jenis saja, bothok, bentuknya macam-macam, baik yang dibungkus dengan daun pisang, daun jati dan sebagainya atau tanpa bungkus tapi sama-sama lezat, maknyus dan Mumtaz (celoteh komentator TV yang gendut karena tukang incip/testor kuliner).
Setamat saya dari MI/SD Maskumambang Dukun Gresik kemudian nyantri di Gontor Ponorogo (1970-1976), selain lauk daging sapi yang disajikan hanya ketika makan siang hari Jum'at, bothok adalah salah satu menu bagi santri di semua dapur (penyelengara tempat makan) dari yang bertarif murah sampai yang mahal.
Hanya, bothok di sana yang kesukaan saya itu, sejak dimasak hingga disajikan tanpa dibungkus daun layaknya sejenis lauk sayur asem, rawon, lodeh dan lain-lain.
Pertengahan Maret 1998, setengah bulan sebelum menikah, saya bersama calon istri yang ortunya berdomisili di Lamongan, JJS (lirik lagu Lintas Melawai-nya Harry Moekti: Jalan-jalan sore) ke Ngimbang dekat kota Lamongan arah Jombang ala-ala menostalgiakan masa SD-nya ketika ayahnya sebagai Wedono/pembantu Bupati di sana (kemudian sebagai kepala Dispenda, lalu ketua F.PG DPRD Kabupaten Lamongan).
Kami mampir ke satu depot makan (seberang dekat SPBU Ngimbang) menyantap menu lauk bothok yang dibungkus daun pisang, dan amboi.... rasanya persis sama dengan bothok Gontor.
Ketika bercerita kepada calon ibu mertua yang asal kota Ngawi (kabupaten dekat Ponorogo-sebelah Madiun), kata beliau, "kalau di Ngawi disebut oblok-oblok, mas Amroeh".
Begitulah umumnya khas warga Jawa Timur dekat Jawa tengah, sejak sebelum saya menikah hingga hari ini, beliau menyebut saya-sang menantu dengan "Mas", apalagi bapak mertua yang berdarah Solo, dan bisa dibandingkan misal dengan warga Gresik, bisa jadi (biasa/lumrah) kalau menyebut menantu dengan ngoko langsung nama atau terkini dengan "bro", hahaha ...
Saking senengnya pada oblok-oblok dan agar sewaktu-waktu kalau kangen bisa masak sendiri, maka dengan lebih dulu bertanya sana-sini, Alhamdulillah tanpa cawe-cawe istri, saya bisa bikin sendiri dengan aroma dan rasa yang sama persis.
Berikut bahan-bahannya: Tempe, ikan teri kecil-kecil, parutan kelapa, gula, garam, dan bungkusan yang sudah jadi untuk masakan lodeh (kalau meracik rempah sendiri nggak sanggup, mumet bro/Sis!).
Cara memasak: Campurkan semua bahan-bahan di atas, tapi ingat, jangan terlalu asin atau manis, karena pasti nggak akan kemakan padahal bikinnya sudah capek, mirip akhir lirik lagu Mbah Surip:
Ha-ah, ha-ah, ha-ah
Ha-ah, ha-ah, ha-ah, capek.
Gresik, Selasa 23 Juli 2024.
15 menit tuntas menulis, menjelang santap siang lauk duduh tempe kesukaan, bahan: Tempe, tomat, lombok kecil utuh, bawang putih, garam, dan tentunya air.
amroehadiwijaya@gmail.com
Komentar
Posting Komentar