*** "MBELGEDES, FOLLOWER DAN PINJOL" Amroeh Adiwijaya

"MBELGEDES,
FOLLOWER DAN
 PINJOL"

Oleh: Amroeh Adiwijaya 

Tugas sejenis mencari "follower" pengikut atau penyuka atau pemberi "Like" pada YouTube untuk video atau medsos untuk karya tulis peserta didik di beberapa lembaga pendidikan temasuk perguruan tinggi sebagai penilaian keberhasilan, bisa dipastikan tugas dari pendidik. Nganeh-nganehi sekaligus mbelgedes.

Itu pertanda pendidik tidak percaya diri, tidak mampu, malas atau bahkan takut untuk memberi nilai pada karya peserta didik dengan kedok seolah ilmiah agar melek medsos, "carilah follower!".

Dan tahukah, itu pertanda tidak mendidik untuk berlaku jujur, karena mana mungkin ada peserta didik yang mau mengungkapkan opini follower yang negatif yang tidak menguntungkan hasil karyanya?

Semua direkayasa, sama seperti pada kontestasi ini-itu di TV atau lainnya yang kalau pemenangnya tidak diskenario oleh penyelenggara, maka pemenangnya ditentukan dengan banyaknya follower, di mana yang terjadi pihak peserta sendiri yang memberi follow dengan cara membeli banyak nomor HP baru untuk medsos misal WA, atau meminta teman, saudara atau relasi. Biaya pun tidak sedikit, dan ujungnya yang menang adalah yang kuat uang.

Pun tak jauh beda dengan pencari follower gratisan, seseorang yang jadi member di banyak WA Group (WAG) bertujuan untuk minta agar member WAG memberi follow/Like pada postingannya, misal YouTube: agar dapat uang, tapi kemudian bosan atau loyo tidak mosting lagi bahkan keluar dari WAG karena tidak ada yang merespons. Yang dulunya tidak mau memberi follow atau Like, dicing, dicap bodoh atau pelit atau didendami sekaligus didoakan tidak masuk surga. 

Dia tidak berlogika kalau memang postingannya bagus, tanpa diminta pun pasti difollow bahkan dishare penyuka ke mana-mana. Kacau!

Tak ubahnya juga seperti ketidak jujuran pada pelaksanaan pemilihan umum di mana calon menyodorkan amplop kepada pemilih agar memilih dirinya, dan setelah terpilih korupsi supaya balik modal.

Juga pada survei-survei yang marak dilakukan oleh lembaga-lembaga survei abal-abal untuk pil-pil bahkan pilpres.

Lebih kacau lagi, kasus yang tejadi beberapa hari yang lalu di UIN Raden Mas Said Surakarta, panitia dari Dewan Mahasiswa (Dema) yang menangani sejenis OPSPEK-nya mensyaratkan mahasiswa baru untuk melakukan transaksi pinjaman online (pinjol) dengan tujuan seperti di atas, agar melek medsos.

Maka wahai pendidik, Dosen/Guru atau siapa saja, tidak usah-lah menambah beban pada anak didik dengan cara-cara mbelgedes di atas, cukup berilah penilaian yang baik dan simple dengan berani sesuai tugas, kapasitas dan kapabilitas anda. Ya, meski bisa jadi anda sebagai agen provider seperti halnya panitia di UIN Surakarta yang ternyata mendapat sponsorship dari perusahaan Pinjol tertentu.

Lembaga pendidikan adalah benteng terakhir sebuah kejujuran.

Gresik, 12 Agustus 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

E-BOOK BLOG AMROEH ADIWIJAYA

* "AGAMAMU APA?" Amroeh Adiwijaya

(124) SOFIAN EFFENDI