***** JUM'AT WAGE
Cerita Sore
"JUM'AT WAGE SPESIAL"
Amroeh Adiwijaya
Saking istimewanya di memoriku: Juma't Wage (satu dari 5 hari pasaran Jawa) tepatnya tadi pagi, maka muncul tulisan ini.
Tulisan/cerita ini memang rodok personal bagi aku tapi gak apa-apa atau maklum kalau ada yang bilang, "gitu kok diposting di sini, koyok gak onok kerjaan aja, kita-kita kan orang penting!", hahaha....
Maka sorry, tapi biarin nggiiih, lagi pula agar aku lancar menulis sesuai pesan guru bahasa Indonesiaku kelas II MI Maskumambang Gresik, pak Sayuti-almarhum anggota IKKAD dan IKB.KALTUM yang rumahnya di dusun Siraman, dekat makam Mbah KH.Abdul Djabbar Dukun Gresik.
Bagiku, beliau guru yang baik dan sabar, apalagi di sela-sela mengajar beliau sering menyampaikan cerita-cerita menarik bagi kami usia kanak-kanak.
Salah satunya yang mengesankan cerita tentang Ali Baba yang nampaknya terilhami lagu yang populer saat ini dengan judul yang sama, dibawakan oleh Lilis Surjani (lagu top lain dia: Gang kelinci).
Begitu cerdik dan saktinya Ali Baba sehingga cukup bilang sambil merem, "sim salabim" maka terbukalah secara otomatis pintu goa yang terdiri dari tumpukan batu besar, kemudian di dalamnya ditemukan banyak harta simpanan para bandit. Maka mendadak Ali Baba menjadi kaya raya.
Pikirku, punya ilmu fu-fu alias ilmu laduni itu mengasyikkan, bisa mendatangkan harta dan lain-lain dengan mudah plus cepat. Pertanyaan: Apakah pembaca ada yang punya ilmu itu? Bagi-bagi dong, hehehe.....
Masiyo pagi tadi sekolah prei (Belanda: vrei) alias libur, tapi karena terbiasa bangun subuh dan sebelumnya shalat tahajud (bener, suwerrr!), maka sekitar jam 05:30 aku gunakan jalan-jalan ke pasar untuk membeli sarapan pagi "Sego bojok" yang biasa dijual emak-emak dari daerah sekitar Sambogunung Dukun.
Karena kebetulan lokasi pasar dekat/berseberangan jalan dengan rumah, maka dengan lancar jaya siap mondar mandir pulang pergi beli jajan pasar, mainan dan sebagainya. Ya, masiyo jalanan di dalam pasar jeblok/beletok karena belum disemen. Cukup sendiri dengan riang gembira tanpa minta bantuan pembantu rumah tangga ibu.
Tapi menjelang siang hari, karena rupanya aku dinilai keasyikan main dan ogah-ogahan jum'atan, maka bapak-ibu ngobraki aku untuk segera menyiapkan diri guna melaksanakan shalat Jum'at di langgar Maskumambang yang dalam menunjukkan tiba waktu shalat digunakan "kentongan" bukan bedug.
Berangkatnya, karena jarak dari rumah hanya sekitar 200 meter, maka aku dibonceng bapak dengan speda onthel, sangat ekstra hati-hati dalam memilih jalan yang jeblok beletok usai diguyur hujan karena belum dipik (Belanda, diaspal).
Keriangan di hatiku dimulai sejak tadi malam, hari pasaran Pon malam Wage, lima hari sekali.
Sejak sore, sekitar daerah rumahku yang dekat pasar, istilahnya "kuto Dukun", di luarnya disebut "ndesit", yang hari-hari biasa sepi mamring, cikar yang beroda berdiameter besar dari kayu dilapisi besi yang suaranya rame dengan gelodak-gelodaknya itu, mulai berdatangan dengan membawa barang-barang dagangan dan bangkelan/bungkusan dibalut kain milik pedagang dari luar Dukun.
Barang dagangan itu akan dijual keesokan harinya, Wage.
Mobil atau truk belum pernah muncul.
Dan suara pemanggul barang-barang, menambah semaraknya suasana pasaran Pon malam Wage.
Diramaikan juga dengan pedagang yang buka khusus Pon malam Wage, misal warung sate gule plus angsle dan wedang pokak, jagung bakar, nangka dan kacang rebus (kapri maupun tanah), juga penjual kelinci yang dibawa dengan ronjot, bahkan kucing anakan maupun besar.
Jajan kegemaranku adalah jagung brondong warna putih diurap kelapa.
Di satu malam wage, sempat juga aku bersama teman-teman sebaya main bola klaras yang dibalut kain bekas di lapangan/alun-alun kota Dukun, dilanjut makan tebu, dan membakar menyok/singkong dan bolet/ubi rambat.
Kami membakar dengan mengambil diam-diam Damen/jerami yang ditumpuk di tepi lapangan untuk dijual.
Eh.... mendadak kami terpaksa lari terbirit-birit karena penjaga pasar ngobrak/mengusir kami dengan suara lantang, "hayo podo moleh mundak suket/rumput lapangan kobong/kebakar". Maka beralihlah kami ke jenis mainan lain, selidenan/petak umpet di jalan depan rumah, depan gerbang pasar Dukun.
Waktu main itu mbuh napa, aku dicing/diintai oleh saorang teman yang mungkin iri (entah iri apa?) kemudian berhasil mendapatkan bolo/kompanyon. Aku dikungkung/dibuat terus kalah waktu kebagian menutup mata untuk mencari lawan main. Saking dongkolku, aku berkata dalam hati, "Awas loh ya nanti kalau aku yang menang!".
Maka ketika giliranku menang atau kebagian bersembunyi, secara sembunyi-sembunyi aku pulang ke rumah lewat pintu belakang, dan karena mereka baru sadar kalau aku nggak ada, aku dengar dari dalam rumah mereka berteriak, "Endi Amroeh, Endi Amroeh?". Lalu mereka pun bubar......
Penutup:
Kisah di atas adalah "True Story" tahun 1967, di mana saya yakin banyak di antara segenap pembaca belum lahir ke dunia.
Gresik, Jum'at Wage
17 Februari 2023.
Menulis tuntas 20 menit sambil ngupiii, pas setelah shalat Asar.
Salam sehat selamat untuk kita semua.
amroehadiwijaya@gmail.com
Komentar
Posting Komentar